Add caption |
Latar Belakang Penyusunan
Terdapat beberapa versi yang timbul mengenai latar belakang penyusunan Al-Muwatta’. Antaranya menurut Noel J. Coulson problem politik dan sosial agama yang telah mencetuskan penyusunan Al-Muwatta’. Situasi politik yang penuh konflik pada masa peralihan Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi’ah & Keluarga Istana) telah mengancam perpaduan kaum Muslimin. Di samping situasi sosial keagamaan yang berkembang penuh dengan perbezaan. Perbezaan-perbezaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang bertitik tolak dari perbezaan petikan nas di satu sisi dan penggunaan logik akal di sisi yang lain, telah melahirkan percanggahan yang penuh konflik.
Versi yang lain menyatakan penulisan al-Muwatta’ disebabkan adanya permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur atas usul yang dibuat Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang sangat prihatin terhadap perbezaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi jalan tengah dan dapat diterima semua pihak. Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik menyusun Kitab hukum sebagai Kitab rujukan bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima usul tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai kitab rujukan atau kitab rasmi negara.
Sementara ada pula versi yang lain mengatakan, di samping terpujuk oleh usulan Khalifah Ja’far al-Mansur, sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agama.
Pemberian Nama Kitab
Al-Muwatta’ adalah nama yang berasal dari Imam Malik sendiri. Cuma, mengapa kitab tersebut dinamakan dengan Al-Muwatta’ menimbulkan beberapa pendapat :
Pertama, sebelum kitab itu disebarluaskan, Imam Malik telah meperlihatkan karyanya ini di hadapan para 70 ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat As-Suyuthi menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namakanya Al-Muwatta’.
Kedua, pendapat yang menyatakan ia dinamakan Al-Muwatta’, kerana kitab tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktiviti dan beragama.
Ketiga, pendapat yang menyatakan ia dinamkan Al-Muwatta’, kerana kitab Al-Muwatta’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqh sebelumnya.
Isi Kitab
Kitab ini menghimpun hadith-hadith Nabi SAW, pendapat sahabat, qaul tabi’in, Ijma’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik.
Para ulama berbeza pendapat tentang jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’;
- Ibnu Habbab yang dikutip Abu Bakar al-A’rabi dalam Syarah al-Tirmizi menyatakan ada 500 hadith yang disaring dari sejumlah 100.000 hadith
- Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadith dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.
- Al-Harasi dalam “Ta’liqah fi al-Usul” mengatakan Al-Muwatta’ memuat 700 hadith dari 9000 hadith yang telah disaring
- Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadith dalam kitab Al-Muwatta’.
- Arnold John Wensinck menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadith
- Muhammad Fu’ad Abdul Baqi mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824 hadith”.
g. Ibnu Hazm berpendapat, dengan tanpa menyebutkan jumlah tepat, 500 lebih hadith musnad, 300 lebih hadith mursal, 70 hadith lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadith dha’if.
h. M. Syuhudi Ismail menyatakan “Al-Muwatta’ hadithnya ada 1804”.
Perbezaan pendapat ini terjadi kerana perbezaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbezaan cara penghitungan. Ada ulama hadith yang hanya menghitung hadith berdasar jumlah hadith yang disandarkan kepada Nabi SAW saja, namun adapula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang memang termaktub dalam Al-Muwatta’.
Menurut As-Suyuthi, lebih dari seribu orang yang meriwayatkan Al-Muwatta’, dan banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah 14 naskah menurut As-Suyuthi, dan menurut al-Kandahlawi ada 16 naskah, sedang menurut Qadi Iyad ada 20 naskah, malah ada yang berpendapat ada 30 naskah. Di antara naskah itu adalah:
- Naskah Yahya bin Yahya al-Masmudi al-Andalusi (w. 204 H). Beliaulah yang pertama kali mengambil Al-Muwatta’ dari Yazid bin ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Lahmi (al-Busykatun) dan pembawa mazhab Maliki di Andalusia
- Naskah ibn Wahb (w. 197 H)
- Naskah Abu Ubaidillah Abd al-Rahman bin al-Qasim ibn Khalid al-Misri (w. 191 H)
- Naskah Abu Abd al-Rahman Abdullah bin Musalamah bin Qa’nabi al-Harisi (w.221 H).
- Naskah Abdullah bin Yusuf al-Dimsyqi Abu Muhammad at-Tunaisi (w. 217 H)
- Naskah Mu’an al-Qazzazi (w. 198 H)
- Naskah Sa’id bin ‘Uffair (w. 226 H)
- Naskah Ibn Bukair (w. 231 H)
- Naskah Abu Mas’ab Ahmad bin Abu Bakr al-Qasim az-Zuhri (w. 242 H)
- Naskah Muhammad ibn al-Mubarak al-Quraisyi (w. 215 H).
- Naskah Musa’ab ibn Abdullah al-Zubairi (w. 215 H).
- Naskah Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawi (w. 240 H)
- Naskah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 179 H)
- Naskah Yahya bin Yahya al-Taimi (w. 226 H)
- Naskah Abi Hadafah al-Sahmi (w. 259 H)
Di antara naskah-naskah tersebut, riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling mahsyur.
Ada perbezaan pendapat yang timbul ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah kitab Al-Muwatta’ ini kitab fiqih semata mata, Kitab Hadith semata mata atau Kitab Fiqh dan kitab Hadith sekaligus. Menurut Abu Zahra , Al-Muwatta’ adalah kitab Fiqh, bedasarkan hujahnya, Tujuan Malik mengumpulkan hadith adalah untuk melihat fiqh dan undang-undangnya bukan kesahihannya dan Imam Malik menyusun kitabnya dalam bab-bab beraliran fiqh.
Senada dengan Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga melihat Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqh dengan dalil hadith. Sebab tradisi yang dipakai adalah tradisi kitab fiqh yang seringkali hanya menyebut sebahagian sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali.
Sementara menurut Abu Zahwu kitab ini bukan semata-mata kitab Fiqh, tetapi sekaligus kitab hadith, kerana sistem fiqh juga dipakai dalam kitab-kitab hadith yang lain, di samping Imam Malik sesekali juga melontarkan kritik melalui pendapat beliau dalam mengupas sebuah riwayat hadith, dan juga menggunakan kriteria-kriteria dalam memilih hadithnya.
Penyusunan Kitab
Kitab Al-Muwatta’ adalah kitab hadith yang beraliran Fiqh. Berdasar kitab yang telah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Al-Muwatta’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadith. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Juzuk I :
- Waktu-waktu Solat, 80 tajuk, 30 hadith,
- Bersuci, 32 tajuk, 115 hadith,
- Solat, 8 tajuk, 70 hadith,
- Lupa dalam Solat, 1 tajuk, 3 hadith,
- Solat Juma’at, 9 tajuk, 21 hadith,
- Solat pada bulan Ramadhan, 2 tajuk, 7 hadith,
- Solat Malam, 5 tajuk, 33 hadith,
- Solat Jama’ah, 10 tajuk, 38 hadith,
- Mengqasar Solat dalam perjalanan, 25 tajuk, 95 hadith,
- Dua hari raya, 7 tajuk, 13 hadith,
- Solat dalam keadaan takut, 1 tajuk, 4 hadith,
- Solat gerhana matahari dan bulan, 2 tajuk, 4 hadith,
- Solat minta hujan, 3 tajuk, 6 hadith,
- Menghadap qiblat, 6 tajuk, 15 hadith,
- Al-Qur’an, 10 tajuk, 49 hadith,
- Solat Jenazah, 16 tajuk, 59 hadith,
- Zakat, 30 tajuk, 55 hadith,
- Puasa, 22 tajuk, 60 hadith,
- I’tikaf, 8 tajuk, 16 hadith,
- Haji, 83 tajuk, 255 hadith.
Juz II:
- Jihad, 21 tajuk, 50 hadith,
- Nadhar dan sumpah, 9 tajuk, 17 hadith,
- Qurban, 6 tajuk, 13 hadith,
- Sembelihan, 4 tajuk, 19 hadith,
- Bintang buruan, 7 tajuk, 19 hadith,
- Aqiqah, 2 tajuk, tujuh hadith,
- Faraid, 15 tajuk, 16 hadith,
- Nikah, 22 tajuk, 58 hadith,
- Talaq, 35 tajuk, 109 hadith,
- Persusuan, 3 tajuk, 17 hadith,
- Jual beli, 49 tajuk, 101 hadith,
- Pinjam meminjam, 15 tajuk, 16 hadith,
- Penyiraman, 2 tajuk, 3 hadith,
- Menyewa tanah, 1 tajuk, 5 hadith,
- Syufa’ah, 2 tajuk, 4 hadith,
- Hukum, 41 tajuk, 54 hadith,
- Wasiat, 10 tajuk, sembilan hadith,
- Kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tajuk, 25 hadith,
- Hamba Mukatabah, 13 tajuk, 15 hadith,
- Hamba Mudharabah, 7 tajuk, 8 hadith,
- Hudud, 11 tajuk, 35 hadith,
- Minuman, 5 tajuk, 15 hadith,
- Orang yang berakal, 24 tajuk, 16 hadith,
- Sumpah, 5 tajuk, 2 hadith,
- Al-Jami’, 7 tajuk, 26 hadith,
- Qadar, 2 tajuk, 10 hadith,
- Akhlak yang baik, 4 tajuk, 18 hadith,
- Memakai pakaian, 8 tajuk, 19 hadith,
- Sifat Nabi SAW., 13 tajuk, 39 hadith,
- Mata, 7 tajuk, 18 hadith,
- Rambut, 5 tajuk, 17 hadith,
- Penglihatan, 2 tajuk, tujuh hadith,
- Salam, 3 tajuk, 8 hadith,
- Minta Izin, 17 tajuk, 44 hadith,
- Bai’ah, 1 tajuk, 3 hadith,
- Kalam, 12 tajuk, 27 hadith,
- Jahannam, 1 tajuk, 2 hadith,
- Sadaqah, 3 tajuk, 15 hadith,
- Ilmu, 1 tajuk, 1 hadith,
- Dakwah orang yang teraniaya, 1 tajuk, 1 hadith,
- Nama-nama Nabi SAW, 1 tajuk, 1 hadis.
Kriteria Kitab dan Kualiti Hadith-Hadithnya
Secara umumnya, tidak ada pernyataan yang tepat tentang kriteria yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun kitab Al-Muwatta’. Namun secara terperinci, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, cara yang dipakai adalah ciri ciri pembukuan hadith berdasar klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal dari sahabat) dan maqthu’ (berasal dari tabi’in). Bahkan bukan itu sahaja, kita dapat melihat bahawa Imam Malik menggunakan susunan susunan berupa
(a) pemilihan terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi,
(b) Atsar/fatwa sahabat,.
(c) fatwa tabi’in,
(d) Ijma’ ahli Madinah dan
(e) pendapat Imam Malik sendiri.
Meskipun kelima aturan tersebut tidak selalu muncul bersamaan dalam setiap pembahasannya, urutan pembahasan dengan mendahulukan penulusuran dari hadith Nabi yang telah dipilih merupakan acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan proses kedua dan seterusnya dipaparkan Imam Malik apabila dirasakan perlu untuk dipaparkan.
Dalam hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritik periwayatan hadith adalah:
(a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek
(b) Bukan ahli bid’ah
(c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis
(d) Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Biarpun Imam Malik telah berupaya meneliti sehalus mungkin dalam menyaring hadith-hadith yang diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadith berbeza pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualiti hadith-hadithnya:
- Sufyan ibn ‘Uyainah dan As-Suyuthi mengatakan, seluruh hadith yang diriwayatkan Imam Malik adalah sahih, kerana diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya
- Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadith dalam Al-Muwatta’ sahih, 222 hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285 hadis maqthu’.
- Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan bahawa hadith-hadith yang termuat dalam Al-Muwatta’ adalah sahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
- Ibn Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib al-Diyanah, ada 500 hadith musnad, 300 hadith mursal dan 70 hadis dha’if yang ditinggalkan Imam Malik. Sedang menurut Ibn Hajar di dalamnya ada hadith yang mursal dan munqati’.
- Al-Gafiqi berpendapat dalam Al-Muwatta’ ada 27 hadith mursal dan 15 hadith mauquf.
- Hasbi ash-Shiddiqi menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada hadith yang sahih, hasan dan da’if.
Harus diingat biarpun dalam Al-Muwatta’ tidak semuanya sahih, ada yang munqati’, mursal dan mu’dal. Banyak ulama hadis berikutnya yang mencuba mentakhrij dan me-muttasil-kan hadith-hadith yang munqati’, mursal dan mu’dal seperti Sufyan ibn Uyainah, Sufyan al-Tsauri, dan Ibn Abi Dzi’bi. Dalam pandangan Ibnu Abdil Barr dari 61 hadith yang dianggap tidak muttasil semuanya sebenarnya musnad dengan jalur selain Imam Malik
Kitab-kitab Syarahnya
Kitab Al-Muwatta’ disyarahkan oleh beberapa ulama di antaranya:
- Al-Tamhid lima fi Al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid karya Abu Umar ibn Abdil Bar al-Namri al-Qurtubi ( w. 463 H)
- Al-Istizkar fi Syarh Maz|ahib Ulama al-Amsar karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H.)
- Kasyf al-Mugti fi Syarh Al-Muwatta’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H.)
- Tanwirul Hawalik, karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H)
- Syarah al-Ta’liq al-Mumajjad Al-Muwatta’ Imam Muhammad karya al-Haki ibn Muhammad al-Laknawi al-Hindi
- Al-Muntaqa karya karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H.).
- Al-Maswa karya al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.)
- Syarh al-Zarqani karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H.)
Pendapat Para Ulama tentang Al-Muwatta’
Di antara ulama yang memberikan penilaian terhadap kitab Al-Muwatta’ adalah:
- Asy-Syafi’i : “Di dunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik...”
- Al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: “ Karya Imam Malik adalah kitab sahih yang pertama kali”
- Ibn Hajar:” Kitab Malik sahih menurut Malik dan pengikutnya...”
- Waliyullah al-Dahlawi menyatakan al-Muwatta’ adalah kitab yang paling sahih, masyhur dan paling terdahulu pengumpulannya.
Kritikan Orientalis terhadap al-Muwatta`
Di antara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan keaslian hadith dalam Al-Muwatta’, di antara hadith yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib:
عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس السجود فقال على رسلكم إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم أن يسجد.
Dalam pandangan Schacht, hadith tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah lama kitab Al-Muwatta’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh kerananya, dari pendekatan sejarah bererti naskah/teks hadith lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan diselidiki sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pensyarah Al-Muwatta’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah lama seperti yang disebut Schacht. Secara umum Azami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian keaslian sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti Al-Muwatta’ Imam Malik, Al-Muwatta’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, kerana pada umumnya ciri ciri yang dipakai dalam kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara lengkap turutan sanadnya, tetapi mencukupi menyebutkan sumbernya atau sebahagian sanadnya.
Hal lain yang dikritik Schacht adalah tentang 80 hadis dalam Al-Muwatta’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, Iaitu Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, alasannya usia Imam Malik terlalu muda (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitinya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang Nafi’ yang bekas hamba Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah kerana penerimaan seorang rawi yang paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadith dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadith Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?
Kesimpulan
Dari paparan di atas, ada beberapa perkara yang dapat dirumuskan :
1. Kitab Al-Muwatta’ disusun Imam Malik atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agamanya.
2. Kitab Al-Muwatta’ tidak hanya menghimpun hadith Nabi SAW, tetapi juga memasukkan pendapat sahabat, Qaul Tabi’in, Ijma’ Ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Menurut Fuad Abdul Baqi, Al-Muwatta’ memuatkan 1824 hadith dengan kualiti yang beragam dengan aturan penyusunan hadith berdasar klasifikasi hukum (abwab fiqhiyyah).
3. Tuduhan Joseph Schacht yang meragukan keaslian hadis dalam Al-Muwatta’ ditangkis oleh Mustafa al-A’zami. A’zami menolak penelitian keaslian sanad hadith dengan mendasarkan pada kitab-kitab fiqih seperti al-Muwatta’ al-Syaibani, Al-Muwatta’ Imam Malik dan al-Umm al-Syafi’i.Nurun Najwah
Wallahua'lam .
1 comments:
hadith mauquf 623 atau 613